Galeri

Cak Nun: Milikku, Milik dan Aku


Milikku, Milik dan Aku

Para pembeli di warung kopi makin lama makin suka baca koran. Mempero!eh
inforrnasi sudah sarna kedudukannya seperti rnandi, makan nasi atau kerokan.

Orang makin maju, karena tak mungkin berjalan ke belakang. Dulu orang cukup
nguping, rerasan sana sini.

Budaya rerasan itu lantas dilembagakan, dicanggihkan, dalam maksud yang
positif. Koran jual berita seperti warung jual mendoan. Maka semoga yang
dijual oleh koran selalu 'rnakanan' objektif, sehat, bergizi, gurih, tidak
dilatarbelakangi oleh subjektivitas kelompok ini-itu yang bisa bikin
mencret. Meskipun demikian, kalau toh mencret, orang sudah terbiasa jajan di
warung yang makanannya tak dilindungi dari debu dan lalat.

Pelanggan warung kopi kita amal: suka berita kriminal, humor, iklan, atau
guratan-guratan apa saja yang kira-kira bisa diindikasikan (oleh sebagian
pelanggan) sebagai petunjuk nomer lotre.

Yang paling kuaang disukai biasanya ialah kutipan pidato. Pejabat ini bilang
begini, sarjana itu bilang begitu.

Bahasanya canggih, istilah-istilahnya ningrat. Seperti roti dari planet,
sukar dikunyah dan tak jelas rasanya di Iidah.

Apa tho kapitalisme itu? -- seseorang nyeletuk dengan susunan bunyi yang
terbata-bata.
Oo, itu bongso sosialisme atau apa itu .. . - kata yang lain.

Tentu saja omong-omong cepat mandeg. Maklum ketika itu pelanggan yang datang
umumnya berasal dari kalangan sosial ekonomi lapis bawah atau setidaknya
menengah bawah. Jadi tingkat pengetahuannya mengenai bahasa-bahasa modern
(dus bukan atau belum tentu tingkat intelektualnya) serba bawah juga.

Saya jadi punya kesernpatan jadi Dosen. Maklumlah saya kan mustahil jadi
dosen. Saya bilang, kapitalisme ialah orang mengatakan: "Punyaku ya punyaku,
punyamu ya punyaku..."

Ada prinsip ekonomi: dengan modal serendah-rendahnya, kita peroleh hasil
setinggi-tingginya. Itu sebuah sikap mental, yang 'mimpi' idealnya ialah:
tanpa modal, kita peroleh semua. Maka adanya monopoli, tatanan
sentral-periferi, jurang kaya-miskin, akan berlangsung 'dengan sendirinya'
meskipun diselenggarakan aturan main untuk mengontrolnya.

Sosialisme itu sebaliknya: "Punyaku ini punyamu, punyamu itu punyaku":
Meskipun demikian, di banyak negeri sosialis, rakyat bilang, "Punyaku
punyamu, punyamu punya-mu". Sementara penguasa berbisik di dalam hatinya,
"Punyamu punyaku, punyaku punyaku".

Lha, lantas ada suara lain bilang: Tak ada punyamu, tak ada punyaku. Yang
punya hanya Tuhan. Milik itu hanya wewenang Tuhan. Ku itu tak ada kecuali
Tuhan. Ku lainnya itu pinjaman.

Tapi siapa percaya kata-kata ini?

Ada. Hati kecil semua rnanusia. Hati kecil kita. Tetapi hidup kita tak
mengandung keberanian untuk meyakini dan rnelaksanakannya. Maklumlah, lha
wong kita.

Emha Ainun Nadjib,

Dari buku "Secangkir Kopi Jon Pakir", Mizan, 1996

Sumber : http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg12535.html

Tinggalkan komentar