Minum dari lautan ilmu ( Nasihat Penyejuk Hati dari Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani)


“Engkau akan minum dari lautan ilmunya, memakan dari gugusan karunianya, dan berbahagia dalam sentuhan rahmatnya. Sungguh, keadaan ini hanya di berikan kepada satu diantara sejuta orang”

Wahai ghulam, engkau harus selalu bertakwa, janganlah mengikuti nafsu dan kawan2 yang jahat. Seorang mukmin tidak boleh lelah dalam memerangi mereka. Janganlah memasukkan pedang ke dalam sarungnya, bahkan jangan turun dari keduanya. Dia tidur seperti para wali, makan ketika telah lapar, yang di bicarakan dan diam menjadi perangai mereka. Hanya ketentuan Allah dan perbuatan Allah yang membuat mereka berbicara. Allah swt. Yang menggerakkan lidah mereka untuk berbicara sebagaimana Allah telah menggerakkan anggota badan mereka untuk berbicara kelak pada hari kiamat. Allah swt. Yang menjadikan sesuatu dapat berbicara sebagaimana menjadikan benda2 dapat berbicara. Jika Allah swt. Menghendaki itu semua untuk mereka, maka Allah akan menyediakannya. Allah swt. Telah menghendaki agar berita gembira dan peringatan itu sampai kepada manusia.Agar dapat meminta pertanggung jawaban ke atas mereka, maka Allah swt. Telah mengutus para nabi dan rasul a.s Manakalah Allah swt. Telah mengirim para ulama untuk meneruskan kerja tersebut, maka Allah swt. Telah mengirim para ulama untuk meneruskan kerja tersebut dan membangun umat manusia. Nabi bersabda,

 

                                             “Ulama adalah pewaris para nabi”

 

 

Sumber : https://www.facebook.com/nasihatpenyejukhati

Curhat Setan: Al-Quran yang Dibakar!


Pembatalan pembakaran Al-Quran hanya omong kosong belaka. Faktanya, dua pendeta justru melakukannya. Yang melakukan bukan Pendeta Terry Jones, tapi kedua pengikutnya. Pendeta Bob Old bersumpah melaksanakan aksinya membakar Al-Quran. Bersama Pendeta Danny Allen, Old melakukan aksinya di hadapan sekelompok orang yang sebagiannya merupakan awak media, Sabtu (11/9) lalu, sama persis pada hari yang dideklarasikan Terry Jones.

Kedua pendeta itu menyiram dua buah mushaf dan sebuah teks Islam lainnya dengan cairan pembakar, lalu menyulutnya dengan api. Mereka menyaksikan bersama-sama kitab suci umat Islam itu menjadi abu.

Aksi dua pendeta itu dilakukan di pekarangan belakang kediaman Old. Mereka mengatakan aksinya merupakan pesan dari Tuhan. Old mengatakan gereja telah mengecewakan banyak orang karena tidak mendukung aksinya. “Saya yakin bahwa sebagai negara kita berada dalam bahaya,” ujarnya sebagaimana dikutip media online Tennessean (12/10).

“Ini adalah buku berisi kebencian, bukan cinta,” katanya sambil memegang Al-Quran sebelum kemudian membakarnya. “Ini adalah kitab palsu, Nabi Muhammad adalah nabi palsu dan itu merupakan wahyu palsu,” tambahnya.

Kedua pendeta itu lantas melakukan apa yang disebutnya sebagai “demonstrasi damai” dengan sedikit gegap gempita. Delapan orang wartawan ikut menyaksikan aksi kedua rohaniwan gereja itu. [Gila, Al-Quran Ternyata Jadi Dibakar, metrotvnews.com]

“Anjing!” rutuk saya sesaat setelah membaca berita itu, “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki saya keluar tanpa kontrol.

“Setan!” teriak saya sekali lagi.

Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapan saya! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.

Jelas saya berang mendengar ucapannya. Emosi saya naik pitam. Dada saya turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulut saya. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”

“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajah saya. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”

Napas saya turun naik, mata saya memerah, tangan saya mengepal. “Terkutuklah kau!” teriak saya.

“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.

Tiba-tiba saya tersintak. Tiba-tiba saya merasa harus menemukan Al-Quran milik saya yang entah saya simpan di mana, sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Saya terus mencari.  Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya? Saya membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quran saya? Saya mulai resah mencari di mana Al-Quran saya. Saya ke ruang tamu, ke ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Saya memeriksa ke belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, saya tak menemukan Al-Quran saya! Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya?

 

“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”

Saya mulai panik dan resah, kemarahan saya mulai pudar, ternyata saya tak bisa menemukan Al-Quran saya sendiri.

“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.

Dada saya berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti saya mulai menangis—tetapi saya belum menyerah untuk terus mencari Al-Quran saya. Di mana Al-Quran saya? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua di kamar belakang, saya kira itulah Al-Quran saya, setelah saya ambil ternyata bukan: Life of Mao. Saya kecewa. Saya terus mencari sambil diam-diam air mata saya mulai meluncur di tebing pipi.

“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaran saya. Tetapi kini saya tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dada saya. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup saya tahan.

Akhirnya saya menyerah. Saya tak menemukan Al-Quran saya di mana-mana di setiap sudut rumah saya!

Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatap saya dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” kemudian ia tertawa. “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak memperdulikannya selama ini?”

Saya terus menangis. Dada saya berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dada saya, mendesir gamang ke seluruh persendian saya.

Tiba-tiba saya ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quran saya ada di situ!

Saya bergegas bangkit dari tubuh saya yang tersungkur, saya berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, saya segera ingat di situlah saya menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika saya hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… saya mendapatkannya: Al-Quran saya!

Saya menatap Al-Quran saya dengan tatap mata rasa bersalah. Saya mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian Saya mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecil saya belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dada saya bergemuruh, air mata saya menderas.

Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.

Saya masih mendekap Al-Quran saya, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.

“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!

“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!

“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”

Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!

Saya menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidup saya. Saya melacaknya dalam ingatan saya yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diri saya?

“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”

Tuan Setan tertawa lepas.

“Maafkan…” suara saya tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu saya bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.

“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.

Saya mencari masjid, saya ke mal, saya ke pasar, saya ke terminal, saya ke sekolah, saya ke mana-mana… Saya ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang disia-siakan. Saya ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Saya masih bergegas dengan langkah yang galau. Saya ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan saya sendiri tak memahaminya? Saya ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?

Saya terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?

Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?

Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?

Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi

Aduhai, akan kemanakah kiranya aku bergulir

Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat

Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?

 

Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!

[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]

 

Saya terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskan saya melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah saya harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah saya kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika saya jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”

Saya terdiam mendengar kata-kata Tuang Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”

Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang membakar Al-Quranmu!”

Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.

Fahd Djibran

Serpong, 16 September 2010

sumber : http://kenduricinta.com/v2/?p=618

Pohon Soekarno rimbunkan padang Arafah


“Keberadaan pohon-pohon ini sangat membantu menguranggi suhu panas saat jamaah haji melaksanakan wukuf “

Jakarta (ANTARA News) – Padang Arafah yang setiap musim haji menjadi lokasi berkumpulnya sekitar tiga juta umat Islam dari seluruh dunia saat melaksanakan wukuf, dikenal memiliki suhu udara yang sangat panas.


Dengan suhu sekitar 38-42 derajat Celcius saat musim panas, tak pelak jamaah haji yang sedang wukuf di situ akan merasa kepanasan yang menyengat sehingga tidak sedikit dari mereka cepat keletihan saat berada di situ.

Padang Arafah memang sangat gersang dan hanya sedikit terdapat bangunan karena memang sehari-hari di luar musim haji, nyaris tidak ada manusia yang singgah ke situ.

Tapi di beberapa lokasi Padang Arafah yang memiliki total luas 5,5×3,5 kilometer persegi itu, terdapat rimbunan pohon yang seringkali dijadikan tempat berteduh bagi warga yang ada di situ.

Sejumlah masyarakat yang sudah seringkali datang ke Arafah sebagai petugas haji Indonesia mengatakan bahwa pohon-pohon yang merindangkan beberapa lokasi Arafah dinamakan “Pohon Soekarno” karena memang pohon itu yang mengusulkan agar ditanam di situ adalah Presiden pertama Indonesia.

Pohon sejenis pohon mindi ini memang dibawa oleh Soekarno saat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.

Sebagai orang berpengaruh di kawasan negara-negara nonblok Bung Karno dengan mudah menawarkan ide penanaman pohon ini kepada kalangan masyarakat Arab yang dikenal keras dan teguh dalam berpendirian.

Tak cukup mengirimkan ribuan bibit pohon, Bung Karno juga mengirimkan ahli tanaman dari Indonesia untuk mengembangbiakan tanaman yang memang cocok tumbuh di daerah tandus ini.

Kini tanaman ini tumbuh dengan rimbun di berbagai sudut kota Arab Saudi, baik di Mekkah, Madinah, maupun Jedah.

Khusus di kawasan Padang Arafah, pohon Soekarno ini telah memenuhi sebagian besar Padang Arafah sehingga selain merindangkan padang itu, juga untuk menghijaukan Arafah.

Dengan tinggi rata-rata dua hingga tiga meter, pohon ini berdiri di sepanjang jalan-jalan utama Padang Arafah.

Pohon dengan banyak manfaat ini juga tumbuh di lokasi-lokasi yang akan ditempati tenda-tenda jamaah haji dari seluruh dunia untuk melaksanakan prosesi wukuf.

“Keberadaan pohon-pohon ini sangat membantu menguranggi suhu panas saat jamaah haji melaksanakan wukuf,” ujar Kepala Satuan Operasional (Kasatop) Arafah, Muzdalifa, dan Mina (Armina) Abu Haris Muntohar.

Abu Haris mengungkapkan Pemerintah Arab Saudi memang secara khusus memelihara keberadaan pohon soekarno ini.

“Bahkan di Arafah ada saluran air khusus yang ditanam dalam tanah untuk menyirami setiap batang pohon Soekarno,” katanya.

Pohon tangguh
Keberadaan Pohon Soekarno di Arafah memang diakui sejumlah orang yang berkunjung maupun sedang bekerja di lokasi itu merasakannya manfaatnya.

Menjelang puncak haji biasanya banyak pekerja yang datang ke Arafah untuk mempersiapkan berbagai keperluan jamaah atau hanya sekedar membersihkan ilalang yang tumbuh sumbur di lokasi yang bakal ditempat jamaah saat wukuf.

“Adanya pohon ini memang membuat lokasi ini memiliki tempat berteduh saat saya dan beberapa pekerja mengerjalan persiapan untuk kedatangan haji,” kata Ahmad seorang pekerja dari Pakistan.

Dirinya yang sudah 10 tahun bekerja di Arab Saudi dan seringkali mendapat tugas bekerja di Arafah juga menyatakan keheranannya pohon tersebut tidak pernah mati walaupun disinari terik matahari yang luar biasa panasnya.

Diakuinya, sekalipun pohon itu mendapat perawatan seperti dengan disiram air tapi ketangguhan pohon itu tidak mati karena panas, membuat banyak orang yang kagum dengan ketangguhan pohon itu.

“Pohonnya kuat dari serangan terik matahari sekalipun tidak terlalu sering disiram air,” katanya.

Pastinya jamaah Indonesia bisa berbangga diri dengan adanya pohon Soekarno yang banyakdikenal oleh penduduk Arab Saudi itu.

Di Indonesia sendiri kedua tanaman itu memiliki beberapa fungsi. Tanaman yang digunakan untuk penghijauan lahan kritis itu juga dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan dan kayu bakar.

Daunnya bermanfaat untuk bahan baku pestisida organik dan sebagai obat bagi kesehatan.

Fermentasi dari daun Mimba dan urin kambing/kelinci yang dipercepat dengan dekom-poser-bio efektif dapat digunakan untuk pengendalian hama kutu daun pada cabe, tomat, serta kacang panjang.
(A025)

Editor: Aditia Maruli

Sumber : http://www.antaranews.com/berita/280454/pohon-soekarno-rimbunkan-padang-arafah